Cari Blog Ini

Kamis, 14 Oktober 2010

PERLINDUNGAN KONSUMEN


HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan


Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen

            Sebelumnya telah disebutkan bahwa tujuan dari UU PK adalah melindungi kepentingan konsumen, dan di satu sisi menjadi pecut bagi pelaku usaha untuk meningkatkan kualitasnya. Lebih lengkapnya Pasal 3 UU PK menyebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah:

   1.  Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
   2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses      negatif pemakaian barang dan/atau jasa
   3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-   haknya sebagai konsumen
   4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi
   5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen  sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha
   6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen

            Sedangkan asas-asas yang dianut dalam hukum perlindungan konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UU PK adalah:

   1. Asas manfaat
            Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
   2. Asas keadilan
            Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.
   3. Asas keseimbangan
            Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.
   4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen
            Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
   5. Asas kepastian hukum
                   Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hokum.


Hak dan Kewajiban Konsumen

                     Janus Sidabalok dalam bukunya Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia menyebutkan bahwa ada tiga macam hak berdasarkan sumber pemenuhannya, yakni:

   1. Hak manusia karena kodratnya, yakni hak yang kita peroleh begitu kita lahir, seperti hak untuk hidup dan hak untuk bernapas. Hak ini tidak boleh diganggu gugat oleh negara, dan bahkan negara wajib menjamin pemenuhannya.
   2. Hak yang lahir dari hukum, Yaitu hak yang diberikan oleh negara kepada warga negaranya. Hak ini juga disebut sebagai hak hukum. Contohnya hak untuk memberi suara dalam Pemilu.
   3. Hak yang lahir dari hubungan kontraktual. Hak ini didasarkan pada perjanjian/kontrak antara orang yang satu dengan orang yang lain. Contohnya pada peristiwa jual beli. Hak pembeli adalah menerima barang. Sedangkan hak penjual adalah menerima uang.

            Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Hak-hak Konsumen adalah :

   1.Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
   2.Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
   3.Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
   4.Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
   5.Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
   6.Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
   7.Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
   8.Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
   9.Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

            Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :

   1.Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
   2.Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
   3.Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
   4.Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.


Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

            Pelaku Usaha  adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

            Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:

   1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
   2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
   3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
   4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
   5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

            Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:

   1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
   2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
   3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
   4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
   5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
   6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
   7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

            Bila diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha.

Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha

            Selanjutnya mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran. Ketentuan ini diatur di Pasal 9 – 16. Pada Pasal 9 pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:

(1)   1.  Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar  mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
       2. Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
       3. Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan,   perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;
       4.  Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
       5. Barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
       6. Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
       7. Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
       8. Barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
       9. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
      10.Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak   mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
      11.Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

Lalu pada ayat (2) dan (3) ditentukan bahwa:

(2)   Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan.
(3) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan  penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.

            Kemudian pada Pasal 10 ditentukan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:

   1. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
   2. kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
   3. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
   4. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
   5. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

            Yang ini juga sering kita lihat. Di atas display ada tulisan besar diskon 50%. Lalu konsumen melihat label harga. Rp. 50.000,-. Persepsi sebagian besar konsumen adalah harga tersebut belum dipotong diskon. Kecuali bila di label harga terdapat harga lain yang dicoret, maka konsumen sudah tahu mana yang harga diskon dan mana harga semula. Pelaku usaha yang hanya mencantumkan 1 harga, cenderung menipu konsumen. Konsumen yang jeli tentu akan bertanya apakah harga tersebut sudah dipotong diskon atau belum. Namun bagaimana bila konsumen tidak jeli?


Klausula Baku

            Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan / atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
            Klausula Baku aturan sepihak yang dicantumkan dalam kwitansi, faktur / bon, perjanjian atau dokumen lainnya dalam transaksi jual beli yang sangat merugikan konsumen.
            Dengan pencantuman Klausula Baku posisi konsumen sangat lemah / tidak seimbang dalam menghadapi pelaku usaha.
            Undang-Undang Perlindungan Konsumen menetapkan bahwa Klausula Baku yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian dilarang bagi pelaku usaha, apabila dalam pencantumannya mengadung unsur-unsur atau pernyataan sebagai berikut :

   1. Pengalihan tanggungjawab dari pelaku usaha kepada konsumen;

   2. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

   3. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

   4. Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli secara angsuran;

   5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen;

   6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

   7. Tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan atau lanjutan dan / atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

   8. Konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

Contoh Klusula Baku yang dilarang Undang-Undang Perlindungan Konsumen antara lain sebagai berikut :

    * Formulir pembayaran tagihan bank dalam salah satu syarat yang harus dipenuhi atau disetujui oleh nasabahnya menyatakan bahwa “ Bank tidak bertanggung jawab atas kelalaian atau kealpaan, tindakan atau keteledoran dari Bank sendiri atau pegawainya atau koresponden, sub agen lainnya, atau pegawai mereka ;
    *  Kwitansi atau / faktur pembelian barang, yang menyatakan :
o "Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan" ;
o "Barang tidak diambil dalam waktu 2 minggu dalam nota penjualan kami batalkan" ;

BATAL DEMI HUKUM
* Setiap transaksi jual beli barang dan atau jasa yang mencantumkan Klausula Baku yang tidak  
  memenuhi ketentuan yang berlaku;
* Konsumen dapat menggugat pelaku usaha yang mencantumkan Klausula Baku yang dilarang dan pelaku usaha tersebut dapat dijatuhi sanksi pidana denda atau pidana penjara;
* Pencantuman Klusula Baku yang benar adalah yang tidak mengandung 8 unsur atau pernyataan yang dilarang dalam Undang-Undang, bentuk dan pencantumannya mudah terlihat dan dipahami;

Tanggung jawab pelaku usaha
            Penelitian terhadap pengalihan risiko dan tanggungjawab hukum pelaku usaha bagi perlindungan konsumen melalui pembentukan asuransi bersama (risk retention groups) dirasakansangat penting, karena penggunaan mekanisme jasa asuransi bersama (risk retention groups) dalam melindungi konsumen merupakan instrument hukum yang relatif baru di Indonesia. Tanggungjawab pelaku usaha terhadap kerugian yang diderita oleh konsumen akibat pemakaian atau penggunaan suatu produk, lebih ditekankan pada ‘ganti kerugian’ yang dibebankan langsung pada pelaku usaha yang bersangkutan, sehingga beban pelaku usaha akan semakin besar. Pengalihan risiko dalam bentuk mekanisme jasa asuransi bersama (risk retention groups) dirasakan penting karena belum adanya ’standar’ perlindungan konsumen dan keamanan pelaku usaha yang diberikan oleh Negara.
            Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian normatif dan empiris. Penelitian yuridis normatif dilakukan dengan mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Pengalihan resiko dan tanggung jawab pelaku usaha dalam perspektif perlindungan konsumen. Pada penulisan ini juga akan dilakukan studi perbandingan (Comparative Study) mengenai tema dalam penulisan ini yang terkait dengan masalah pengalihan resiko dan tanggung jawab pelaku usaha dalam perspektif perlindungan konsumen yang dilakukan oleh negara-negara lain seperti Amerika Serikat dan Thailand dll.
PENEGAKAN HUKUM PERLIDUNGAN KONSUMEN
            Penegakan hukum (law enforcement) yang bermuatan perlindungan konsumen memang sedang didambakan oleh masyarakat, khususnya masyarakat (konsumen) yang sedang menjadi korban pengusaha (perusahaan) yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen. Kecenderungan semakin banyaknya perusahaan yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen, merupakan tantangan riil yang menguji aparat atau pihak-pihak yang berkompeten dalam melakukan dan mewujudkan penegakan hukum.Kata Kunci: penegakan hukum, pencari keadilan, perlindungan konsumen. 
            Pentingnya Penegakan Hukum Perlindungan Konsumen, Aspek hukum merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari negara Indonesia, sebab hukum sebagai tolak ukur dalam pembangunan nasional yang diharapkan mampu memberikan kepercayaan terhadap masyarakat secara luas dan melakukan pembaharuan secara menyeluruh di berbagai aspek. Undang Undang Dasar 1945  menyatakan secara tegas bahwa “ Negara Indonesia adalah negara hukum” Kaidah ini mengandung makna bahwa hukum di negara ini ditempatkan pada posisi yang strategis didalam konstelasi ketatanegaraan. Agar hukum sebagai suatu sistem dapat berjalan dengan baik dan benar didalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, diperlukan institusi institusi yang penegak hukum  sebagai instrumen penggeraknya.Mewujudkan suatu negara hukum tidak saja diperlukan  norma norma hukum atau peraturan perundang undangan sebagai substansi hukum, tetapi juga diperlukan lembaga atau badan penggeraknya sebagai struktur hukum dengan didukung oleh prilaku hukum seluruh komponen masyarakat sebagai budaya hukum. Hukum harus dikembalikan pada fungsi dan perannya karena sudah menjadi tuntutan masyarakat dan perkembangan demokrasi di Indonesia sejak bergulirnya era reformasi.Seiring dengan berkembangnya dunia usaha perdagangan dan industri serta tumbuhnya konsumerisme global dan upaya penciptaan keadilan social dan ekonomi, maka lahirlah konsumerisme sebagai paham yang membela hak-hak konsumen yang berkembang seiring dengan perkembangan dunia usaha. Fakta menunjukkan bahwa konsumen adalah pihak yang lemah, yang membutuhkan perlindungan hukum. Apabila ditelusuri dengan mengkaji lebih lanjut tentang karaktristik sengketa konsumen (consumer disputes) dapat di identifikasi sebagai berikut:
Pertama, sengketa konsumen lahir dari tidak adanya keseimbangan kedudukan antara pihak pelaku usaha dan konsumen. Ketidakseimbangan kedudukan inilah yang seringkali menyulitkan konsumen untuk berjuang  sendiri dalam meyelesaikan sengketa yang dihadapinya, sekalipun hak-haknya secara yuridis dilindungi oleh undang-undang.
Kedua, konsisi social ekonomi konsumen pada umumnya adalah miskin ( kecuali mereka adalah konsumen mobil mewah, real estate, atau peralatan rumah tangga yang mahal). Daya beli yang pas-pasan  jelas tidak memungkinkan bagi mereka untuk mendapatkan bantuan hukum (melalui lawyer).Hambatan psikologis ada  pada mereka untuk memasuki prosedur hukum formal, disamping adanya sinyalemen “banyak lawyer” yang tidak cukup familier dengan persoalan-persoalan yang dihadapi mayarakat miskin. Pada akhirnya bantuan hukum lebih didominasi oleh kasus-kasus criminal, perkawinan, ketimbang kasus-kasus konsumen.
 Ketiga, pemberian ganti rugi yang lebih spisifik juga sekaligus merupakan “kritik” atas dunia peradilan formal yang cenderung tidak efektif. Dengan demikian penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan  tidak cocok, karena sangat formal, lama, berbelit-belit, dan mahal.Gambaran peradilan formal yang demikian itulah yang jelas tidak cocok sebagai media penyelesaian sengketa konsumen. Oleh karena itu, yang dibutuhkan dalam sengketa konsumen adalah media penyelesaian sengketa yang cepat, sederhana (tidak formal) dan murah. Apalagi sekarang ini penggantian kerugian yang efektif sudah menjadi salah satu hak dasar konsumen.

            Pada tanggal 20 April 1999 telah diundangkan UU No. 8/11999 tentang Perlindungan Konsumen, dan mulai berlaku tanggal 20 April 2000. Pembuat UU menyadari betul bahwa ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di Indonesia belum memadai, sehingga diperlukan suatu peraturan yang mampu melindungi kepentingan konsumen. Di lain pihak, diperlukan pula usaha untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya sendiri serta menumbuhkembangkan sikap perilaku usaha yang bertanggung jawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar