Cari Blog Ini

Kamis, 14 Oktober 2010

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility)


Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility)

            Tanggung  jawab sosial perusahaan atau CSR (corporate social responsibility) kini jadi frasa yang semakin populer dan marak diterapkan perusahaan di berbagai belahan dunia. Menguatnya terpaan prinsip good corporate governance seperti fairness, transparency, accountability, dan responsibility telah mendorong CSR semakin menyentuh “jantung hati” dunia bisnis.
Di tanah air, debut CSR semakin menguat terutama setelah dinyatakan dengan tegas dalam UU PT No. 40 Tahun 2007 yang belum lama ini disahkan DPR. Disebutkan bahwa PT yang menjalankan usaha di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Pasal 74 ayat 1).
Namun, UU PT tidak menyebutkan secara terperinci berapa besaran biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk CSR serta sanksi bagi yang melanggar. Pada ayat 2, 3, dan 4 hanya disebutkan bahwa CSR “dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memerhatikan kepatutan dan kewajaran.” PT yang tidak melakukan CSR dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai CSR ini baru akan diatur oleh peraturan pemerintah yang hingga kini belum dikeluarkan.
Akibatnya, standar operasional mengenai bagaimana menjalankan dan mengevaluasi kegiatan CSR masih diselimuti kabut misteri. Selain sulit diaudit, CSR juga menjadi program sosial yang “berwayuh” wajah dan mengandung banyak bias.
Banyak perusahaan yang hanya membagikan sembako atau melakukan sunatan massal setahun sekali telah merasa melakukan CSR. Tidak sedikit perusahaan yang menjalankan CSR berdasarkan copy-paste design atau sekadar “menghabiskan” anggaran. Karena aspirasi dan kebutuhan masyarakat kurang diperhatikan, beberapa program CSR di satu wilayah menjadi seragam dan seringkali tumpang tindih.
Alhasil, alih-alih memberdayakan masyarakat, CSR malah berubah menjadi Candu (menimbulkan kebergantungan pada masyarakat), Sandera (menjadi alat masyarakat memeras perusahaan), dan Racun (merusak perusahaan dan masyarakat).
Defini dan Sejarah CSR
            Konsep tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibiliy (CSR), muncul sebagai akibat adanya kenyataan bahwa pada dasarnya karakter alami dari setiap perusahaan adalah mencari keuntungan semaksimal mungkin tanpa memperdulikan kesejahteraan karyawan, masyarakat dan lingkungan alam. Seiring dengan dengan meningkatnya kesadaran dan kepekaan dari stakeholder perusahaan maka konsep tanggung jawab sosial muncul dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan kelangsungan hidup perusahaan di masa yang akan datang.
            Tanggung jawab sosial perusahaan dapat didefinisikan secara sederhana sebagai suatu konsep yang mewajibkan perusahan untuk memenuhi dan memperhatikan kepentingan para stakeholder dalam kegiatan operasinya mencari keuntungan.
           

            CSR adalah operasi bisnis yang berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial, tetapi untuk pembangunan sosial-ekonomi kawasan secara holistik, melembaga, dan berkelanjutan. Beberapa nama lain yang memiliki kemiripan dan bahkan sering diidentikkan dengan CSR adalah corporate giving, corporate philanthropy, corporate community relations, dan community development.
Ditinjau dari motivasinya, keempat nama itu bisa dimaknai sebagai dimensi atau pendekatan CSR. Jika corporate giving bermotif amal atau charity, corporate philanthropy bermotif kemanusiaan dan corporate community relations bernapaskan tebar pesona, community development lebih bernuansa pemberdayaan.
Dalam konteks global, istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970-an dan semakin populer terutama setelah kehadiran buku Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998) karya John Elkington.
Mengembangkan tiga komponen penting sustainable development, yakni economic growth, environmental protection, dan social equity yang digagas the World Commission on Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report (1987), Elkington mengemas CSR ke dalam tiga fokus: 3P (profit, planet, dan people). Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit), tetapi memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people).
Di Indonesia, istilah CSR semakin populer digunakan sejak tahun 1990-an. Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan CSA (corporate social activity) atau aktivitas sosial perusahaan. Walaupun tidak menamainya sebagai CSR, secara faktual aksinya mendekati konsep CSR yang merepresentasikan bentuk “peran serta” dan “kepedulian” perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan.
Melalui konsep investasi sosial perusahaan seat belt, sejak tahun 2003 Departemen Sosial tercatat sebagai lembaga pemerintah yang aktif dalam mengembangkan konsep CSR dan melakukan advokasi kepada berbagai perusahaan nasional. Kepedulian sosial perusahaan terutama didasari alasan bahwasannya kegiatan perusahaan membawa dampak (baik maupun buruk) bagi kondisi lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat, khususnya di sekitar perusahaan beroperasi.
Selain itu, pemilik perusahaan sejatinya bukan hanya shareholders atau para pemegang saham, melainkan pula stakeholders, yakni pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Stakeholders dapat mencakup karyawan dan keluarganya, pelanggan, pemasok, masyarakat sekitar perusahaan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, media massa, dan pemerintah selaku regulator. Jenis dan prioritas stakeholders relatif berbeda antara satu perusahaan dan lainnya, bergantung pada core bisnis perusahaan yang bersangkutan (Supomo, 2004).
Sebagai contoh, PT Aneka Tambang, Tbk. dan Rio Tinto menempatkan masyarakat dan lingkungan sekitar sebagai stakeholders dalam skala prioritasnya. Sementara itu, stakeholders dalam skala prioritas bagi produk konsumen seperti Unilever atau Procter & Gamble adalah para customer-nya.




Bias-bias CSR
            Berdasarkan pengamatan terhadap praktik CSR selama ini, tidak semua perusahaan mampu menjalankan CSR sesuai filosofi dan konsep CSR yang sejati. Tidak sedikit perusahaan yang terjebak oleh bias-bias CSR berikut ini.
1.      Kamuflase, CSR yang dilakukan perusahaan tidak didasari oleh komitmen genuine, tetapi hanya untuk menutupi praktik bisnis yang memunculkan ethical questions. Bagi perusahaan seperti ini, CD bukan kepanjangan dari community development, melainkan “celana dalam” yang berfungsi menutupi “aurat” perusahaan. McDonald`s Corporation di AS dan pabrik sepatu Nike di Asia dan Afrika pernah tersandung kasus yang berkaitan dengan unnecessary cruelty to animals dan mempekerjakan anak di bawah umur.
2.      Generik, Program CSR terlalu umum dan kurang fokus karena dikembangkan berdasarkan template atau program CSR yang telah dilakukan pihak lain. Perusahaan yang impulsif dan pelit biasanya malas melakukan inovasi dan cenderung melakukan copy-paste (kadang dengan sedikit modifikasi) terhadap model CSR yang dianggap mudah dan menguntungkan perusahaan.
3.      Directive, Kebijakan dan program CSR dirumuskan secara top-down dan hanya berdasarkan misi dan kepentingan perusahaan (shareholders) semata. Program CSR tidak partisipatif sesuai prinsip stakeholders engagement yang benar.
4.      Lip service, CSR tidak menjadi bagian dari strategi dan kebijakan perusahaan. Biasanya, program CSR tidak didahului oleh needs assessment dan hanya diberikan berdasarkan belas kasihan (karitatif). Laporan tahunan CSR yang dibuat Enron dan British American Tobacco (BAT), misalnya, pernah menjadi sasaran kritik sebagai hanya lip service belaka.
5.      Kiss and run, Program CSR bersifat ad hoc dan tidak berkelanjutan. Masyarakat diberi “ciuman” berupa barang, pelayanan atau pelatihan, lantas ditinggalkan begitu saja. Program yang dikembangkan umumnya bersifat myopic, berjangka pendek, dan tidak memerhatikan makna pemberdayaan dan investasi sosial. CSR sekadar “menanam jagung”, bukan “menanam jati”.

CSR yang baik
CSR yang baik (good CSR) memadukan empat prinsip good corporate governance, yakni fairness, transparency, accountability, dan responsibility, secara harmonis. Ada perbedaan mendasar di antara keempat prinsip tersebut (Supomo, 2004). Tiga prinsip pertama cenderung bersifat shareholders-driven karena lebih memerhatikan kepentingan pemegang saham perusahaan.
Sebagai contoh, fairness bisa berupa perlakuan yang adil terhadap pemegang saham minoritas; transparency menunjuk pada penyajian laporan keuangan yang akurat dan tepat waktu; sedangkan accountability diwujudkan dalam bentuk fungsi dan kewenangan RUPS, komisaris, dan direksi yang harus dipertanggung jawabkan.
Sementara itu, prinsip responsibility lebih mencerminkan stakeholders-driven karena lebih mengutamakan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Stakeholders perusahaan bisa mencakup karyawan beserta keluarganya, pelanggan, pemasok, komunitas setempat, dan masyarakat luas, termasuk pemerintah selaku regulator. Di sini, perusahaan bukan saja dituntut mampu menciptakan nilai tambah (value added) produk dan jasa bagi stakeholders perusahaan, melainkan pula harus sanggup memelihara kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya itu (Supomo, 2004).
Namun demikian, prinsip good corporate governance jangan diartikan secara sempit. Artinya, tidak sekadar mengedepankan kredo beneficience (do good principle), melainkan pula nonmaleficience (do no-harm principle) (Nugroho, 2006).
Perusahaan yang hanya mengedepankan benificience cenderung merasa telah melakukan CSR dengan baik. Misalnya, karena telah memberikan beasiswa atau sunatan massal gratis. Padahal, tanpa sadar dan pada saat yang sama, perusahaan tersebut telah membuat masyarakat semakin bodoh dan berperilaku konsumtif, umpamanya, dengan iklan dan produknya yang melanggar nonmaleficience.

Komponen utama CSR Menurut Bank Dunia
          Tanggung jawab sosial perusahaan terdiri dari beberapa komponen utama:
-          perlindungan lingkungan
-          jaminan kerja
-          hak azasi manusia
-          interaksi dan keteribatan perusahaan dengan masyarakat
-          standar usaha
-          pasar
-          pengembangan ekonomi dan badan usaha
-          perlindungan kesehatan
-          kepemimpinan dan pendidikan
-          Bantuan bencana kemanusiaan


Penerapan tanggung jawab sosial perusahaan saat ini
            Tanggung jawab sosial perusahaan sering didefinisikan secara sempit sebagai akibat belum tersosialisasinya standar baku bagi perusahaan. Tanggung jawab sosial perusahaan masih dianggap sebagai suatu kosmetik belaka untuk menaikkan pamor perusahaan atau menjaga reputasi perusahaan di masyarakat. Oleh karenanya ada asumsi jika perusahaan sudah memberikan sumbangan atau donasi kepada suatu institusi sosial berarti sudah melakukan tanggung jawab sosial sebagai sebuah perusahaan. penerapan dan isu tanggung jawab sosial perusahaan yang saat ini baru dilakukan diantaranya adalah :
1.      Pengaruh dari globalisasi dan internasionalisasi yang memaksa perusahaan untuk dapat menerapkan fungsi tanggung jawab sosial perusahaan. Bentuk globalisasi dan internasionalisasi ini dapat berupa tekanan dari pihak ketiga ( distributor, buyer, client, dan shareholder ) yang menjadi bagian atau mitra kerja dari perusahaan lokal. Mereka dapat menetapkan suatu kondisi yang harus diikuti oleh perusahaan lokal dalam memenuhi tanggung jawab sosialnya. Kondisinya ini biasanya dialami oleh perusahaan yang berada di negara miskin dan berkembang dimana memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi kepada investor dari negara maju.
2.      Ditinjau dari jenis perusahaan, umumnya yang menjalankan fungsi tanggung jawab sosial adalah perusahaan yang bergerak dalam usaha ekplorasi alam (tambang, minyak, hutan). Perusahan tambang lebih mendapatkan perhatian dari masyarakat dibandingkan dengan perusahaan non tambang (terutama LSM). Perusahaan tersebut diwajibkan untuk melakukan penyeimbangan sebagai dampak dari eksplorasi yang dilakukan seperti melakukan reklamasi alam, reboisasi, mendukung pencinta alam, berpartisipasi dalam pengolahan limpah dan sebagainya. Kenyataannya apakah perusahaan tersebut benar-benar menaruh perhatian terhadap alam dan lingkungan sekitarnya, bukankah mungkin tanggung jawab sosial yang dilakukan oleh perusahaan hanya sebagai kedok untuk melegalkan dan mengamankan kegiatan perusahaan sehingga tidak dikritik oleh masyarakat.
3.      Bentuk tanggung jawab sosial perusahaan yang biasanya dilakukan adalah pemberian fasilitas kepada para pekerja atau buruh. Kenyataannya bahwa pemberian fasilitas baru akan terealisasi jika adanya ancaman mogok atau unjuk rasa dari para buruh. Ini berarti tanggung jawab sosial perusahaan terhadap para buruh didasarkan sebagai suatu negosiasi antara manajemen dengan para buruh. Manajemen tentunya akan memperhitungkan dampak yang ditimbulkan dengan adanya ancaman tersebut jika dinilai akan merugikan perusahaan maka (biasanya) tuntutan akan direalisasikan.
4.      Bentuk lainya dari tanggung jawab sosial perusahaan sebatas pemberian sumbangan, hibah, bantuan untuk bencana alam yang sifatnya momentum. Musibah, bencana, atau malapetaka yang terjadi dapat dijadikan sebagai momentum bagi perusahaan yang membentuk citra dan reputasi baik di mata masyarakat.
Masih banyak contoh penerapaan tanggung jawab sosial perusahaan pada saat ini yang bertujuan untuk memenuhi persyaratan atau mengikuti aturan main supaya perusahaan dapat tetap menjaga citra dan existensinya di hadapan para stakeholdernya.
Bentuk Ideal Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
            Bagaimana mencari format ideal tanggung jawab sosial perusahaan sehingga dapat diperoleh mutual benefit antara perusahan dengan stakeholdernya?. Untuk mendapatkan format ideal tanggung jawab sosial perusahaan, beberapa hal yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
1.      Perusahan harus melakukan gap analisis antara apa yang ideal harus dilakukan dengan apa yang telah dilakukan (existing) saat ini. Hasil dari gap analisis ini dapat menjadi acuan bagi perusahaan untuk mendapatkan solusi yang benar-benar dibutuhkan sehingga kehadiran perusahaan tersebut memberikan dampak positif bagi stakeholder.
2.      Konsistensi dalam menjalankan komitmen harus menjadi bagian dan gaya hidup dari semua level manajemen perusahaan. Oleh karenanya tanggung jawab sosial perusahaan harus menjadi bagian dalam strategic plan perusahaan mulai di mulai dari penentuan visi, misi, strategi, core belief, core value, program, penyusunan anggaran sampai kepada evaluasi. Tujuan dengan adanya strategic plan ini adalah untuk menjaga kesinambungan perusahaan di masa yang akan datang. Di dalam strategic plan faktor tanggung jawab sosial harus menjadi bagian dari road map perusahaan dalam rangka mencapai good corporate governance (GCG). Untuk mengevalusi penerapan strategic plan ini diperlukan tool yang dapat menjadi dashboard perusahaan di dalam menilai kinerja yang dihasilkan. Tool yang digunakan dapat berupa metode balanced scorecard atau hanya penerapan key performance indicator disetiap objektif yang ingin dicapai.
3.      Sudah saatnya tanggung jawab sosial perusahaan dikelola oleh suatu divisi tersendiri secara professional sehingga pertanggungajawaban terhadap manajemen dan stakeholder dapat transparan dan terukur kinerjanya. Divisi ini diberikan otoritas untuk dapat memutuskan secara cepat dan tuntas semua perkara (isu) yang berhubungan dengan para stakeholder. Divisi ini harus dapat menjalin hubungan yang harmonis dengan pemerintah sebagai regulator, lembaga swadaya masyarakat, asosiasi yang berhubungan, dan masyarakat sehingga keputusan yang diambil dapat mengakomodir semua kepentingan. Dalam prakteknya staff dari divisi ini dapat diisi oleh personal dari berbagai perwakilan yang ada di stakeholder.
4.      Idealnya, pemerintah juga harus memiliki department yang berfokus untuk menagani regulasi tanggung jawab sosial perusahaan sehingga dapat menjadi mediator dan fasilitator bagi semua pihak yang berkepentingan. Fungsi lainnya dari department ini adalah sebagai auditor yang memberikan rangking dalam periode tertentu bagi semua perusahaan sesuai dengan bidang dan kelasnya, dengan adanya ranking ini memicu perusahaan untuk serius menangani masalah tanggung jawab sosial perusahaan. Departemen ini harus juga melibatkan institusi pendidikan dan akademisi untuk menjaga transparansi dalam proses audit.
5.      Pada era teknologi saat ini, peranan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sudah menjadi keharusan bukan lagi sebagai pendukung perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan dapat memanfaatkan TIK semaksimal mungkin untuk menciptakan proses yang efisien, efektif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Misalkan dengan menggunakan software, internet, portal, dan teleconference sebagai alat komunikasi dengan stakeholder yang terintegrasi dengan proses bisnis yang ada dalam perusahaan.
Sudah saatnya setiap perusahaan memberikan perhatian yang serius kepada masalah tanggung jawab sosial, karena terbukti tanggung jawab sosial perusahaan memiliki peranan yang signifikan dalam keberhasilan perusahaan di masa yang akan datang. Disamping itu, tanggung jawab sosial perusahaan dapat menyeimbangkan perusahaan dalam mencapai tujuan komersil dan tujuan non komersial.

Kritik terhadap Tanggung jawab sosial perusahaan
            Dari beberapa fakta diatas kritik terhadap penerapan tanggung jawab sosial perusahaan adalah:
1.      Perspektif tanggung jawab sosial perusahaan sering dijadikan atribut bagi perusahan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan caranya mengikuti peraturan yang ditetapkan oleh masyarakat, asosiasi, dan pemerintah. Seperti perusahaan tambang, perusahan kayu, perusahaan pengelola hasil bumi, dan sejenisnya. Dampak yang ditimbulkan perusahan tidak seimbang dengan usaha untuk merehabilitasi alam.
2.      Untuk bisnis tertentu, tanggung jawab sosial perusahaan dapat dijadikan perisai sebagai penetralisir dampak dari bisnis yang dijalankan sekalipun bertentangan, misalkan perusahaan rokok sebagai sponsor event olah raga. Sekalipun masyarakat mengetahui bahayanya rokok di lain pihak masyarakat membutuhkan olahraga.
3.      Ada kalanya tanggung jawab sosial perusahaan dapat menjadi bumerang bagi perusahaan itu sendiri walaupun sudah melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Misalkan yang terjadi pada perusahaan fast food Mc Donal, pada awalnya tanggung jawab sosial perusahaan disosialisasikan secara menyeluruh kepada dunia mengenai keterlibatan Mc Donal dalam memperhatikan anak-anak, pendidikan dan kehidupan sosial di masyarakat. Tetapi Mc Donal justru menuai demo dari para pencinta binatang karena dianggap pembunuh ayam yang kejam, iklan yang menyesatkan, dan praktek bisnis yang tidak sehat.
4.      Bagi perusahaan investor dari negara maju, adanya regulasi mengenai tanggung jawab sosial perusahaan yang ketat dapat menjadi alternative untuk berpindah ke negara yang memiliki regulasi tanggung jawab sosialnya lebih longgar. Dilema ini yang dihadapi oleh negara miskin dan berkembang, jika terlalu ketat maka otomatis investor akan mengurungkan niatnya berinvestasi tetapi sebaliknya jika terlalu longgar akan merugikan rakyat dan lingkungan alam.
Perusahaan yang berhasil dalam penerapan tanggung jawab sosial jumlahnya relatif sedikit karena mendapatkan kepercayaan dari para stakeholder harus diuji melalui waktu. Komitmen dan konsistensi yang dilakukan oleh perusahaan dalam menjalankan tanggung jawab sosial akan terlihat hasilnya secara bertahap bukan secara instan. Best practice perusahaan yang berhasil adalah The Body Shop, justru karena berfokus kepada kepentingan public, kekerasan dalam keluarga, kesehatan ibu dan anak, bencana alam, dan kegiatan sosial lainnya, perusahan ini sukses merebut perhatian dari para pelangganannya.

2 komentar: